Resensi Buku Parenting: Parent’s Stories: Membesarkan Anak yang Berdaya



Orangtua Itu Mentor, Bukan Monster

oleh : Andi Dwi Handoko, S.Pd.

Judul Buku      : Parent’s Stories: Membesarkan Anak yang Berdaya
Penulis             : Adhitya Mulya
Penerbit           : Panda Media, Jakarta Selatan
Tebal               : 164 halaman
Tahun Terbit   : Cetakan pertama Maret 2016

“Generasi kita yang sekarang menjadi orangtua harus dapat mengajarkan anak bahwa, dari mana pun kita berasal, yang penting adalah sopan, santun, berbuat baik kepada orang lain, dan berguna bagi orang lain – Adhitya Mulya”

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya sukses. Lalu bagaimana sebenarnya arti sukses? Apakah punya prestasi membanggakan di sekolah? Pandai matematika? Juara lomba di berbagai bidang? Kaya di masa mendatang? Atau yang lainnya? Dalam bukunya Parent’s Stories: Membesarkan Anak yang Berdaya Adhitya Mulya sanggup menyederhanakan makna sukses bagi anak. Intinya, sukses itu bukan diukur dari materi. Sukses itu adalah ketika anak-anak kita mampu memberdayakan kemampuan dirinya untuk menghadapi rintangan di hidupnya dan bermanfaat untuk orang lain.
Awal mengetahui ada buku ini, cukup membuat saya mengerutkan dahi. Pasalnya, sebelumnya saya mengenal penulisnya, yakni Adhitya Mulya, bukanlah seorang penulis buku parenting, motivator, ataupun psikolog. Adhitya yang lulusan Teknik Sipil ITB itu justru saya kenal sebagai penulis novel komedi seperti Jomblo, Gege Mengejar Cinta, Catatan Mahasiswa Gila, dan lainnya. Namun, ia bisa menggarap buku parenting yang serius tapi disuguhkan secara ringan semacam ini.
Dengan membaca buku ini, para orangtua mungkin akan membuat refleksi untuk dirinya sendiri. Mereka akan membandingkan contoh tips mendidik anak ala Adhitya dengan yang sudah mereka lakukan. Ketika membaca awal buku, para pembaca akan disadarkan makna kesuksesan. Namun, untuk mencapai kesuksesan, ternyata harus mendidik anak dengan fondasi nilai-nilai kehidupan (karakter). Maka tak salah jika di dalam buku ini disajikan betapa pentingnya pengajaran nilai hidup. Nilai hidup (values) inilah yang akan mengantarkan mereka ke arah kemandirian.
Melalui buku ini, Adhitya mencoba menggugat salah kaprahnya orang tua dalam mendidik anak. Adhitya mencoba mencontohkan dengan model anak-anak zaman sekarang yang lebih mengedepankan asas merek dalam membeli barang daripada asas fungsi. Anak-anak akan merasa lebih dihargai jika menggunakan barang yang lebih bermerek. Anak-anak akan minder jika menggunakan barang dengan merek tidak terkenal, atau bahkan tidak bermerek, entah itu sepatu, tas, baju, dan lainnya. Dalam hal ini, Adhitya mencoba membuka pikiran para orang tua bahwa harga diri bukanlah diukur dari harga barang. Namun, harga diri itu datang dari dalam diri anak. Harga diri akan muncul ketika anak berhasil menyelesaikan tantangan hidupnya dan bermanfaat untuk orang lain.
Adhitya juga mengurusi masalah tradisi “bibit” yang sampai sekarang masih dianggap penting bagi beberapa kalangan. Tradisi ini menilai seseorang berdasarkan dari mana mereka berasal: dari bangsawan atau bukan. Menurutnya, anak tidak perlu bangga jika dilahirkan di keluarga mampu, disekolahkan di sekolah unggulan, mendapat fasilitas cukup di rumah, dan lain-lain. Akan lebih baik jika kata “bangga” diubah menjadi “bersyukur”. Jadi, apa saja yang ada di sekeliling kita, itu tidak perlu dibanggakan – atau bahkan disombongkan –, tetapi harus disyukuri, seperti yang sudah ditulisnya: “Dari mana kita berasal, tidak layak kita banggakan, melainkan harus kita syukuri.”

Efek Samping Pujian
“Kita ingin anak menjadi manusia yang berdaya di suatu saat nanti. Dia akan dapat menjadi manusia yang berdaya jika memiliki definisi yang benar akan harga dirinya. Definisi yang benar akan kompetensinya. Definisi yang benar akan di mana kelebihannya, di mana kelemahannya, dan bagaimana dia dapat mengembangkan dirinya lebih jauh. Semua itu, datang dari bagaimana kita, sebagai orang tua, mendidik, memuji, dan mengkritisi mereka  – Adhitya Mulya”

Dalam teori pendidikan modern, proses pembelajaran harus memadukan reward (pujian) dan punishment (hukuman), dalam hal ini adalah hukuman yang mendidik. Pujian dapat membuat anak merasa percaya diri. Hanya saja, Adhitya menggarisbawahi agar tidak salah dalam memuji anak. Jangan terlalu banyak memuji anak karena berdasarkan penelitian terbaru bahwa banyak pujian justru dapat menghancurkan mental anak, apalagi yang dipuji adalah suratan, seperti IQ tinggi, ketampanan, kecantikan, dan lain-lain. Adhitya mencoba menjelaskan cara memuji adalah tidak hanya sekadar memuji yang terlihat atau yang dihasilkan, tetapi memuji berdasarkan usahanya. Bukan hanya memuji “Wow, hasil ulangan anak Ayah keren, dapat 100!”, tetapi “Wow, hasil ulangan anak Ayah keren, dapat 100! Pasti ini karena anak Ayah rajin belajar!”
Adhitya berpikir bahwa anak membangun rasa percaya diri dari titik yang kita puji. Jika kita puji suratannya (takdirnya), misalnya kita sering memuji “Kau memang anak pintar!”, maka si anak akan menanamkan konsep di alam bawah sadarnya bahwa ia pintar. Namun, ketika mereka dihadapkan tantangan yang sebenarnya dan suratannya tidak cukup (tidak cukup untuk mendapat yang terbaik), itu akan menghancurkan imaji diri mereka sendiri.
Sementara itu, jika yang dipuji adalah usaha anak dalam meraih sesuatu yang didapatkannya, mereka akan tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka akan dapat menaklukkan tantangan selama mereka berusaha. Mereka akan menghargai setiap usaha dan selalu mengharga apa yang sudah diusahakan oleh orang lain dan dirinya sendiri sehingga anak tidak merasa sombong.

Menyalahkan orang lain
Bagaimana kalau mendapati nilai ulangan anak jelek? Banyak orang tua – walaupun tidak semua orang tua begitu – yang lantas menyalahkan anaknya, mengapa ia mendapat nilai jelek. Orang tua harus mencoba mencari tahu, mengapa anaknya mendapat nilai jelek. Bukan menghakimi mengapa nilainya jelek, seolah-olah orang tua adalah monster yang siap menerkam sewaktu ada pengumuman nilai.
Orang tua yang tidak mau mencari tahu kenapa nilai anaknya jelek, akan lebih menyalahkan mengapa anak tersebut mendapat nilai jelek. Sekarang lazim ditemui jika ada anak yang salah di sekolah, orang tua yang tidak tahu duduk permasalahannya langsung menyalahkan sekolah, teman anaknya, atau guru anaknya. Hal ini membuat konsep alam bawah sadar si anak akan meniru orang tua yang semacam ini. Jika mendapat nilai jelek, si anak bukan introspkesi diri, justru akan beralasan “karena temannya”, “karena guru itu”, “karena sekolahnya”, dan “karena-karena” yang lain. Jika anaknya memang ada kekurangan, orang tua harus mengakuinya, bukan menyalahkan. Maka kalau itu dibiarkan, jangan salahkan anak jika suatu saat mereka akan menyalahkan orang lain atas ketidakmampuannya menghadapi masalah.
Di dalam buku ini Adhitya juga mencontohkan niat baik orang tua yang salah. Ada orang tua yang memotivasi anaknya dengan membandingkan dengan orang lain. Misalnya dengan kalimat “Si Robin, teman sebangkumu nilainya bagus, dia bisa, mengapa kamu tidak?”, “Kakakmu nilainya bagus? Mengapa kamu tidak?”, atau “Ayo, tunjukkan kepada Bapak bahwa kamu bisa.” Perbandingan dan ekspetasi semacam ini menurut Adhitya menjadi perangkap yang justru membuat anak mengalami penolakan. Menurutnya, anak mendapat nilai jelek itu sudah sebagai monster, apalagi jika sampai di rumah justru harus berhadapan denga monster kedua, yakni orang tua.
Pada dasarnya, melalui buku ini, Adhitya mencoba memberikan solusi yang menurutnya tepat dalam  mendidik anak-anak. Anak-anak harus dimentori, bukan “dimonsteri”. Hanya saja, ulasan Adhitya lebih kepada solusi yang normatif, belum menjangkau bagaimana menangani anak yang memang butuh perlakuan khusus. Namun, secara garis besar, apa yang ditulis Adhitya dalam buku ini saya rasa cukup bisa menggugah kesadaran orang tua dalam mendidik anak.

(Pernah dimuat di Majalah As-Shofwah)

0 Response to "Resensi Buku Parenting: Parent’s Stories: Membesarkan Anak yang Berdaya"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel